Kegagalan Aktif (Active Failure) dan Kondisi Laten (Latent Condition)
Universitas Teknokrat Indonesia
Error muncul dari masalah informasi dan terbagi dalam tiga kategori: skill-based slips and lapses, rule-based mistakes and knowledge-based mistakes. Violation muncul dari faktor motivasi dan terbagi dalam empat jenis: routine (or corner-cutting) violations, thrill-seeking or optimizing violations, necessary violations and exceptional violations. Karena tindakan manusia ini memiliki dampak langsung dan efeknya terjadi secara cepat terhadap terjadinya kecelakaan, sehingga dinamakan “Active Failure” (Kegagalan Aktif). Dijelaskan lebih lanjut, ternyata Active Failure ini bukan satu-satunya penyebab terjadinya kecelakaan. Active failure (unsafe act) saat ini lebih dilihat sebagai konsekuensi daripada sebagai penyebab utama / pemicu dalam terjadinya suatu kecelakaan.
Sedangkan lainnya, yaitu “Latent Condition” (Kondisi Laten), bagi organisasi diibaratkan seperti patogen yang menetap di tubuh manusia. Seperti halnya patogen, kondisi laten - seperti desain yang buruk, celah dalam pengawasan, cacat produksi yang tidak terdeteksi, kegagalan maintenance, prosedur yang tidak dapat dijalankan, otomatisasi yang tidak tepat, kekurangan pelatihan, peralatan yang kurang memadai - mungkin ada selama bertahun-tahun dalam sebuah operasi organisasi sebelum mereka bergabung dengan local factor dan active failure untuk menembus sistem lapisan pertahanan. Mereka muncul dari keputusan strategis dan tingkat atas lainnya yang dibuat oleh stakeholder, regulator, produsen, perancang, dan manajemen organisasi. Dampak dari keputusan ini menyebar ke seluruh organisasi, membentuk budaya perusahaan yang khas dan menciptakan error/violation-promoting condition di tingkat tempat kerja individu.
Kondisi laten hadir di semua sistem. Mereka adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan organisasi. Mereka juga tidak selalu merupakan hasil dari keputusan yang buruk, meskipun mungkin kadang juga demikian. Sumber daya, misalnya, jarang didistribusikan secara merata di semua departemen organisasi. Keputusan awal tentang cara mengalokasikannya mungkin didasarkan pada argumen komersial yang masuk akal, tetapi semua ketidakadilan tersebut menciptakan masalah kualitas, kehandalan, atau keselamatan bagi seseorang di suatu tempat dalam sistem di beberapa waktu kemudian.
Perbedaan yang sangat penting antara active failure dan latent condition terletak pada dua hal. Pertama, berkaitan dengan waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan dampak yang merugikan. Kegagalan aktif biasanya memiliki efek langsung dan relatif singkat sedangkan kondisi laten dapat “tertidur untuk sementara waktu” tanpa menimbulkan bahaya tertentu sampai mereka berinteraksi dengan local factor untuk menembus sistem pertahanan yang ada. Perbedaan kedua, yaitu terkait dengan lokasi “pemicu” di dalam organisasi. Kegagalan aktif dilakukan oleh pekerja yang berada di level garis depan atau “sharp-end”. Kondisi laten, di sisi lain, muncul di lapisan atas organisasi seperti level manajerial, stakeholder, dsb.
Sementara itu, active failure itu cenderung unik yang berlaku untuk peristiwa tertentu, sedangkan latent condition, dapat lebih general, yang mana jika belum ditemukan dan tidak diperbaiki dapat berkontribusi pada sejumlah kecelakaan yang berbeda. Latent condition dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya active failure melalui penciptaan local factor yang mendorong terjadinya error dan violation. Latent Condition juga dapat memperburuk konsekuensi dari tindakan tidak aman dengan pengaruhnya terhadap sistem pertahanan, penghalang, dan pengaman yang dimiliki oleh suatu organisasi.
Rangkuman Diskusi Mailing List Migas Indonesia (Maret 2003) ini membahas tentang latent-defect. Apakah dalam hukum Indonesia ada disebutkan masalah penyelesaian latent-defect tersebut? Dan bila ada, berapa lamakah period of limitation tersebut?
Pertanyaan : (Triono Rahardjo – Kvaerner
Indonesia)
Selain klausul ‘contract completion’ atau ‘warranty provisions’ dalam suatu
perjanjian kerja, secara umum di setiap legal system biasanya disebutkan jangka
waktu penyelesaian masalah "latent-defect".
Pertanyaan saya, apakah dalam hukum Indonesia ada disebutkan masalah penyelesaian
latent-defect tersebut ? Dan bila ada, berapa lamakah period of limitation tersebut
? Mohon juga di-share referensi yang dipakai.
Tanggapan 1 : (Ahmad Wirawan Adnan – Law Firm
"Sholeh, Adnan & Associates")
- Latent Defect: menurut Black’s Law artinya one which is not appeared to
buyer by reasonable observation. - Menurut Hukum Indonesia adalah cacat tersembunyi. Pasal 1504 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia (Burgerlijk Wetboek, biasa disingkat BW) menentukan
bahwa penjual selalu diharuskan untuk bertanggung jawab atas adanya cacat tersembunyi. - Pasal 1507 BW; Dalam hal terjadi cacat tersembunyi maka pembeli diberikan
pilihan;- Mengembalikan barang yang dibeli dengan menerima pengembalian harga (refund)
- Tetap memiliki barang yang dibeli dengan menerima ganti rugi dari penjual.
- Tentang pertanyaan berapa lama si pembeli berhak mengklaim adanya cacat tersembunyi,
Undang-Undang tidak memberikan batasan. Hanya menurut Prof Subekti,SH (Mantan
Ketua Mahkamah Agung/Guru Besar Hukum Perdata-UI) klaim tersebut harus diajukan
dalam waktu singkat, jika tidak maka dianggap meskipun ada cacat tersembunyi
pembeli telah menerimanya.
Seberapa lamakan yang dimaksud singkat, Prof Subekti tidak menjelaskan lebih
lanjut. Namun pengalaman saya berpraktek hakim banyak menolak tuntutan cacat
tersembunyi bila waktunya sudah lebih dari 3 bulan.Meskipun demikian tidak ada
jaminan juga apakah yang dibawah 3 bulan akan dikabulkan. Kesimpulannya ,
tidak peraturan secara tegas perihal ini dan bila
ada masalah hukum maka putusan akan sepenuhnya bergantung pada hakim yang memeriksa.
Tanggapan 2 : (Triono Rahardjo – Kvaerner Indonesia)
Pak Adnan Yth,
Terimakasih atas sharing bapak, sangat membantu untuk orang dengan latar belakang
teknis seperti saya. Apakah bapak bisa share mengenai sebab penolakan claim
cacat tersembunyi tersebut, berdasarkan pengalaman bapak. Apakah melulu berdasarkan
claim yang lebih dari 3 bulan atau, ada sebab teknis yang lain, misalnya tidak
jelasnya cacat tersebut yang ternyata tidak dapat di justify berdasarkan keterangan
para ahli.
Mengenai 3c perihal ganti rugi, seberapa jauh ganti rugi ini harus diberikan,
kerugian apa saja yang harus di ganti, apakah kerugian tersebut sampai mencakup
indirect damages (yang biasanya di exclude dari liabilities si penjual). Apakah
pasal 1508 berlaku dalam hal ini (walaupun ada exclusion mengenai indirect damages
dalam perjanjian kerja) ?
Tanggapan 3 : (Wirajaya Hatominuddin – McDermott
Indonesia)
Pak Triono,
Mengenai latent defect ini apakah juga diatur didalam Condition of Contract
?. Oh ya Pak, kontrak-2 yang dipakai dalam Oil&Gas project selalu mengacu
ke mana? apakah FIDIC or JTC (Joint Tribunal Contract) ? mohon pencerahannya.
Tanggapan 4 : (Triono Rahardjo – Kvaerner Indonesia)
Pak Wirajaya,
Dari pengalaman saya mereview Terms and Conditions (TCs) dari beberapa oil companies
di Indonesia, ada TCs yang menyinggung Latent Defect ada juga yang tidak. Setahu
saya FIDIC lebih mengarah ke buildings construction, saya sendiri tidak familiar,
tetapi yang jelas mengarah ke standarisasi contract language tertentu. Biasanya
oil companies punya TCs sendiri yang specific untuk lingkup kerja tertentu (EPIC
atau FEED atau engineering services contract dsb).
Tanggapan 5 : (Wirajaya Hatominuddin – McDermott
Indonesia)
Kalo saya perhatikan (mohon dikoreksi jika saya salah), umumnya bentuk kontrak
antara Pihak Pertamina dengan Pihak Service Company selalu Turnkey Project or
Design & Build. Adakah salah satu dari sekian project Pertamina yang menggunakan
Unit Price (provisional Quantity) atau lebih lajim disebut Remeasurement ?.
Tanggapan 6 : (Triono Rahardjo – Kvaerner Indonesia)
Pak Wirajaya,
Secara umum Keppres yang mengatur masalah pengadaan barang dan jasa mengijinkan
kontrak jenis lump-sum maupun reimbursable (mungkin yang anda maksud adalah
reimbursable, bukan remeasurement ?). Jadi, tergantung dari jenis pekerjaannya,
maka pihak pemakai (dalam hal ini bisa Pertamina atau oil/gas companies yang
lain) bisa mengikat perjanjian kerja baik secara lump-sum maupun reimbursable.
Yang penting adalah bahwa setiap kontrak harus ada batasan nilainya, termasuk
untuk reimbursable contract (ever-green contract tidak diijinkan).
Tanggapan 7 : (Wirajaya Hatominuddin – McDermott
Indonesia)
Pal Triono,
Jadi kesimpulannya bahwa aturan main dalam kontrak-pun tergantung pada hasil
dari Gentleman Agreement (kesepakatan semua pihak) yang kemudian dituangkan
dalam Term and Coditions contract.
Terima kasih banyak Pak Triono atas pencerahannya, perkenankan saya tuk dapat
bertanya banyak hal mengenai Commercial Engineer/Law kepada bapak.
Tanggapan 8 : (Ahmad Wirawan Adnan – Law Firm
"Sholeh, Adnan & Associates")
Pak Triono,
Karena masalah prioritas maaf jika response saya perihal diatas agak lama. Lebih
lanjut tentang Latent Defect ini saya tidak akan menjawab secara langsung pertanyaann
anda, saya mengharapkan anda bisa menemukan jawaban dari apa yang akan saya
sampaikan dibawah ini. Karena dalam kasus- kasus hukum, more often than not,
tidak hitam putih. Kalau semuanya bisa hitam putih. Dalam arti setiap kasus
selalu ada peraturannya, maka saya rasa masyarakat tidak perlu lagi lawyer karena
jawabannya selalu akan mudah ditemukan di buku2 peraturan/ Buku2 Hukum. Ada
baiknya Mas Triono memberi tahukan kepada saya kasus kongritnya agar diskusi
kita bisa lebih akurat. Baiklah sebelum itu saya akan memberikan penjelasan
umum seperti dibawah;
- Jika barang yang dibeli disertai dengan garansi maka begitu masa garansi
berakhir maka berakhir pulalah klaim kita atas adanya cacat tersembunyi. Segala
kerusakan atau cacat yang terjadi setelah masa garansi berakhir akan dianggap
sebagai cacat karena "wear and tear" (karena lamanya pemakaian).
Cacat karena "wear and tear" tidak dapat diklaim lagi kepada penjual. - Tentang masa 3 bulan yang dijadikan putusan hakim itu adalah tiga bulan
setelah ditemukannya cacat jadi bukan 3 bulan setelah tgl pembelian. - Secara kongkrit kasus yang pernah kami tangani itu adalah tentang pembelian
rumah baru dari salah satu pengembang ternama di Ibukota. Dimana setelah rumah
diserahkan, kebetulan tidak ada masa garansi, terjadi kerusakan berupa retak-retak
berat pada tembok, kebocoran dan ternyata lingkungan banjir.Gugatan kami adalah
bahwa kerusakan tersebut merupakan cacat tersembunyi, dan kebanjiran lingkungan
merupakan cacat tersembunyi juga. Karena pada saat rumah diserah terimakan
tidak mungkin hal-hal seperti kerusakan dan kebanjiran di lingukungan perumahan
ini terditeksi oleh pembeli.Cacat Tersembunyi disini kita bicara tentang asumsi bahwa Penjual juga tidak
mengetahuinya adanya cacat2 tersebut.Sehingga dasar gugatannya adalah Pasal
1507 KUH-Perdata. Tuntutan kami pada waktu itu adalah pembatalan jual-beli,
agar kemudian dapat refund. Penjual menawarkan perbaikan-perbaikan namun pembeli
tidak lagi bersedia tinggal di lingkungan tersebut karena banjir. Pembuktian
disini mudah, kita tinggal menunjukkan adanya kerusakan pada rumah kita dan
kesaksian tentang adanya kebanjiran tersebut. Namun karena pengaduan dan gugatan
ini terjadi setelah waktu 7 bulan setelah kejadian maka hakim menolak tuntutan
ini. - Jika ingin mengarah pada pasal 1508 KUH Perdata maka kita perlu saksi ahli.
Untuk anda-anda yang belum pernah baca pasal 1508 KUH Perdata, kurang lebih
bunyinya begini; jika penjual mengetahui adanya cacat tersebut pada saat barang
diserahkan kepada pembeli maka Penjual diwajibkan untuk mengembalikan lebih
dari sekedar harga beli, namun juga diharuskan membayar ganti rugi (denda)
dan bunga.Jika arahnya pada gugatan ini maka diperlukan pembuktian yang menegaskan bahwa
pembeli mengetahui adanya cacat-cata tersebut pada saat jual beli terjadi.
Dengan demikian kita harus menghadirkan Saksi ahli bangunan dan saksi tata
lingkungan, yang kurang lebih kesaksiannya berbunyi jika bahan- bahan bangunan
dan penataan lingkungan sesuai dengan stadar spesifikasi yang ada maka tidak
mungkin terjadi kerusakan dan kebanjiran. Demikian juga arsitek maupun pemborong
yang membangun rumah tersebut, ditanya apakah pembangunannya sesuai dengan
spec.Jadi memang agak lebih sulit jika kita akan menggunakan pasal 1508.
LATENT DEFECTS : BEYOND DEFECT LIABILITY PERIOD
Komentar
Posting Komentar